Sabtu, 19 Maret 2011

Ca Cervix

BAB 1
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang
Ca cervix atau kanker leher /mulut rahim merupakan jenis penyakit kanker yang paling banyak diderita wanita diatas usia 18 tahun. Kanker leher /mulut rahim ini menduduki urutan nomor dua penyakit kanker didunia bahkan sekitar 500.000 wanita di seluruh dunia di diagnosa menderita kanker mulut rahim dan rata-rata 270.000 meninggal tiap tahun (Depkes RI, 2008).
Diperkirakan pada tahun 2010 kanker leher /mulut rahim menjadi penyebab utama mortalitas diseluruh dunia dan pada tahun 2030 diperkirakan terjadi kasus kanker baru sebanyak 20 hingga 26 juta jiwa dan 13 hingga 17 juta jiwa meninggal akibat kanker leher rahim. Peningkatan angka kejadian kanker diperkirakan sebesar 1% per tahun. Pada tahun 2008 disampaikan dalam world cancer report bahwa terjadi 12 juta jiwa pasien yang baru didiagnosis kanker mulut rahim (ca servix).
Sekitar 80% kasus kanker mulut rahim terjadi pada wanita yang hidup berkembang. Di Indonesia terdapat 90-100 kasus kanker mulut rahim per 100.000 penduduk. Kanker mulut rahim adalah kematian nomor satu yang sering terjadi pada wanita Indonesia. Setiap wanita tanpa memandang usia dan latar belakang beresiko terkena kanker mulut rahim.
Sebagai kalangan mahasiswa kesehatan selayaknya mengetahui bahaya ca cervix bagi kehidupan manusia, yang bisa mengancam jiwa manusia itu sendiri. Sebagai mahasiswa kesehatan sepatutnya mampu mengidentifikasi tanda dan gejala dari ca servix serta dapat bertindak dalam memberikan pelayanan terbaik pada pasien yang menderita ca cervix khususnya dalam pemberian asuhan keperawatan di rumah sakit.

BAB 2
KONSEP CA CERVIX

2.1 Pengertian
Kanker leher rahim atau carcinoma cervix adalah keganasan dari serviks yang ditandai dengan adanya perdarahan lewat jalan lahir atau vagina, tetapi gejala tersebut tersebut tidak muncul sampai tingkat lanjut, dimana tanda dan diagnosa pasti bisa ditegakkan dengan menggunakan pap smear(Zhukmana, 2009).
Kanker serviks adalah penyakit akibat tumor ganas pada daerah mulut rahim sebagai akibat dari adanya pertumbuhan jaringan yang tidak terkontrol dan merusak jaringan normal disekitarnya (FKUI, 1990; FKKP, 1997).

2.2 Etiologi
Sebab langsung dari kanker serviks belum diketahui (idiopatik).
2.3 Faktor Predisposisi
1. Status perkawinan
Insiden terjadi lebih tinggi pada wanita yang menikah, terutama gadis yang coitus pertama (coitarche) pada usia < 16 tahun. Insiden meningkat dengan tingginya paritas, apalagi jarak persalinan terlampau dekat.
2. Golongan sosial ekonomi rendah
Karsinoma serviks banyak dijumpai pada golongan sosial ekonomi rendah mungkin faktor sosial ekonomi erat kaitannya dengan gizi, imunitas dan kebersihan perseorangan. Pada golongan sosial ekonomi rendah umumnya kuantitas dan kualitas makanan kurang hal ini mempengaruhi imunitas tubuh.
3. Hygiene dan sirkumsisi
Diduga adanya pengaruh mudah terjadinya kanker serviks pada wanita yang pasangannya belum disirkumsisi. Hal ini karena pada pria non sirkum hygiene penis tidak terawat sehingga banyak kumpulan-kumpulan smegma.
4. Merokok dan AKDR (Alat Kontrasepsi Dalam Rahim)
Merokok akan merangsang terbentuknya sel kanker, sedangkan pemakaian AKDR akan berpengaruh terhadap serviks yaitu bermula dari adanya erosi diserviks yang kemudian menjadi infeksi yang berupa radang yang terus menerus, hal ini dapat sebagai pencetus terbentuknya kanker serviks.
5. Infeksi virus
Infeksi virus herpes simpleks (HSV-2) dam virus papiloma atau virus kondiloma akuminta diduga sebagai faktor penyebab kanker serviks
6. Sering berganti-ganti pasangan.
Akan meningkatnya resiko terpapar HPV
7. Jumlah kehamilan dan partus
Kanker serviks terbanyak dijumpai pada wanita yang sering partus. Semakin sering partus semakin besar kemungkinan resiko mendapat karsinoma serviks.
8. Insiden meningkat pada pasangan dengan laki-laki yang tidak bersunat
9. Kebiasaan merokok ataupun terpapar karsinogen.
10. Penyakit menular seksual.
11. Memiliki kebiasaan sex yang menyimpang.
12. Menggunakan pil KB lebih dari 4 tahun menaikkan resiko 1,5 – 2,5 kali.
13. Kekurangan vitamin C, asam folat, retinol dan vitamin E.

2.4 Tanda Dan Gejala
 Gejala kanker leher /mulut rahim pada stadium dini :
• Kadang-kadang terjadi pendarahan
• Pendarahan setelah berhubungan intim
• Munculnya keputihan : makin lama, makin berbau busuk, diakibatkan infeksi dan nekrosis jaringan
• Perdarahan setitik pasca senggama dan pengeluaran cairan encer dari vagina, atau perdarahan kontak yaitu perdarahan yang dialami setelah senggama, merupakan gejala Ca Serviks (75-80%)
 Gejala kanker leher /mulut rahim pada stadium lanjut :

• Hilangnya nafsu makan dan berat badan
• Nyeri perut bawah, panggul dan punggung : ditimbulkan oleh infiltrasi sel tumor ke serabut saraf.
• Perdarahan spontan : perdarahan yang timbul akibat terbukanya pembuluh darah dan makin lama makin sering terjadi, terutama pada tumor yang bersifat eksofitik.
• Pendarahan dari saluran kencing dan anus
• Keluarnya feaces menyertai urin melalui vagina
• Anemia : terjadi akibat perdarahan pervaginam yang berulang.
• Pebengkakan pada kaki
• Gagal ginjal : infiltrasi sel tumor ke ureter yang menyebabkan obstruksi total.

2.7 Pemeriksaan Penunjang
1. Sitologi/Pap Smear (Prostatic Acid Phosphate)
Keuntungan : Murah dan dapat memeriksa bagian-bagian yang tidak terlihat.
Kelemahan : Tidak dapat menentukan dengan tepat lokalisasi
2. Schillentest
Epitel karsinoma serviks tidak mengandung glycogen karena tidak mengikat yodium. Kalau porsio diberi yodium maka epitel karsinoma yang normal akan berwarna coklat tua, sedang yang terkena karsinoma tidak berwarna.
3. Kolposkopi
Memeriksa dengan menggunakan alat untuk melihat serviks dengan lampu dan dibesarkan 10-40 kali.
Keuntungan : dapat melihat jelas daerah yang bersangkutan sehingga mudah untuk melakukan biopsy.
Kelemahan : hanya dapat memeriksa daerah yang terlihat saja yaitu porsio, sedang kelainan pada skuamosa columnar junction dan intra servikal tidak terlihat.
4. Kolpomikroskopi
Melihat hapusan vagina (Pap Smear) dengan pembesaran sampai 200 kali.
5. Biopsi
Dengan biopsi dapat ditemukan atau ditentukan jenis karsinomanya
6. Konisasi
Dengan cara mengangkat jaringan yang berisi selaput sendir serviks dan epitel gepeng dan kelenjarnya. Konisasi dilakukan bila hasil sitologi meragukan dan para serviks tidak tampak kelainan-kelainan yang jelas.
7. Pemeriksaan secara radiologis (CT Scan dan MRI) untuk mengetahui apakah sudah ada penyebaran lokal dari ca tersebut.
8. Servikografi
9. Gineskopi
10. Pap net/pemeriksaan terkomputerisasi dengan hasil lebih sensitive

2.8 Penatalaksanaan
Bagi pasien yang terdiagnosa mengalami perubahan abnormal sel sejak dini, maka dapat dilakukan beberapa hal seperti :
1. Pemanasan, diathermy atau dengan sinar laser.
2. Cone biopsi, yaitu dengan cara mengambil sedikit dari sel-sel servix termasuk sel yang mengalami perubahan. Tindakan ini memungkinkan pemeriksaan yang lebih teliti untuk memastikan adanya sel-sel yang mengalami perubahan. Pemeriksaan ini dapat dilakukan oleh ahli kandungan.
Jika perjalanan penyakit telah sampai pada tahap pre-kanker dan kanker servix telah dapat diidentifikasi, Maka ada beberapa hal yang dapat dilakukan untuk penyembuhannya, antara lain :
1. Operasi atau hysterectomy yaitu dengan mengambil daerah yang terserang kanker, biasanya uterus beserta leher rahimnya.
2. Radioterapi yaitu dengan menggunakan sinar X berkekuatan tinggi yang dapat dilakukan secara internal maupun eksternal.

BAB 3
ASUHAN KEPERAWATAN

3.1 Pengkajian Keperawatan
a) Biodata
Umur, resiko tinggi 30-60 tahun, perkawinan muda, jumlah anak, usia pernikahan.
b) Riwayat Kesehatan
Adanya penggunaan kontrasepsi pil.
c) Keluhan Utama
 Tahap dini : keputihan, perdarahan pervaginam, nyeri, gangguan miksi.
 Tahap lanjut : perdarahan pervaginam yang terus - menerus, nyeri perut
bagian bawah, edema.
d) Status Ginekologi dan obstetri
 Siklus menstruasi: terjadi perdarahan intramenstruasi (diluar siklus)
 Perdarahan post coitus
 Keputihan
e) Aktivitas sehari-hari:
 Pola makan: anoreksia, vomiting.
 Pola eliminasi: inkontinensia urine, alvi
 Pola aktivitas dan tidur terganggu, terasa nyeri.
f) Riwayat Psikososial :
Konsep diri, emosi, pola interaksi, mekanisme koping, problem menonjol adalah mengingkari, marah, perasaan putus asa dan tidak berdaya, depresi atau bahkan memusuhi.
g) Pemeriksaan Fisik
 Kepala dan leher: rambut rontok, anemis
 Abdomen: teraba massa bila sudah metastase
 Genetalia: kotor, cairan keputihan, bau.

3.2 Diagnosa Keperawatan
1. Nyeri akut/kronik b.d penekanan serabut saraf oleh infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar.
2. Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan kebutuhan metabolisme tumor.
3. Kurang perawatan diri b.d adanya kelemahan fisik.
4. Gangguan konsep diri b.d adanya bau khas kanker yang mengganggu.
5. Perubahan terhadap pola seksual b.d adanya perdarahan yang terus menerus dan keputihan.
6. Penurunan cardiac output b.d penurunan kadar sel darah merah

3.3 Intervensi Keperawatan
a). Dx 1 : Nyeri akut/kronik b.d penekanan serabut saraf oleh infiltrasi sel kanker ke jaringan sekitar
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan yang bebas dari nyeri
KH: Klien rileks dan tidak kesakitan Skala nyeri 0-3 Tekanan darah dan nadi dalam batas normal (100-30/ 60-80 mmHg).
Intervensi :
1. Kaji tingkat nyeri klien dalam skala 0-10 ( R/: menentukan intervensi selanjutnya)
2. Observasi tanda-tanda vital (R/: penyimpangan TTV dari batas normal merupakan hal yang perlu diwaspadai oleh perawat dan bisa segera dilakukan intervensi lebih lanjut).
3. Ajari klien tehnik distraksi dan relaksasi (R/: tehnik distraksi dan relaksasi telah terbukti dapat mengurangi nyeri secara non farmakologis).
4. Ajak klien berbicara tentang hal-hal yang menyenangkan dan kegiatan klien sehari-hari. (R/: merupakan salah satu cara mengalihkan perhatian klien dari rasa nyeri yang dirasakannya).
5. Kerjasama dengan tim medis dalam memberikan terapi analgesik (R/: analgesik bekerja dengan menghambat nosiseptif nyeri menempati reseptornya, sehingga nyeri tidak dirasakan lagi).

b). Dx 2 : Nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh b.d peningkatan kebutuhan metabolisme tumor.
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan nutrisi yang adekuat
KH : Tidak terjadi penurunan BB dan antropometri tubuh Klien bebas dari mual dan muntah
Intervensi :
1. Kaji intake nutrisi klien setiap hari (R/: memungkinkan perawat dapat mengetahui status nutrisi klien).
2. Kaji BB dan antropometri tubuh setiap hari (R/: menemukan adanya penyimpangan dari normal sedini mungkin).
3. Berikan diit TKTP (Protein diperlukan untuk regenerasi sel dan pemuihan).
4. Perbanyak intake buah-buah dan sayur (R/: vitamin dalam buah dan sayur sangat diperlukan dalam memenuhi kebutuhan metabolisme tubuh)

c). Dx 3 : Kurang perawatan diri b.d adanya kelemahan fisik.
Tujuan: Klien mendemonstrasikan keadaan perawatan diri yang terpenuhi
KH: Penampilan klien bersih Klien terawat Kebutuhan ADL klien dapat terpenuhi
Intervensi :
1. Kaji kemampuan klien dalam merawat diri (R/: memungkinkan perawat dapat memberikan intervensi yang sesuai).
2. Bantu klien dalam perawatan dirinya seminimal mungkin (R/: klien dapat terpenuhi kebutuhan perawatannya).
3. Dorong klien untuk melakukan hal-hal yang mampu dilakukannya sendiri secara mandiri (R/: memandirikan klien secara bertahap, sehingga klien tidak terlalu bergantung pada perawat).
4. Kerjasama dengan keluarga dalam memenuhi kebutuhan dasar (R/: keluarga sebagai mitra kerja perawat dalam memenuhi kebutuhan klien).

Daftar Pustaka
Sudiana, I Ketut. (2008). Patobiologi Molekuler Kanker. Jakarta : Salemba Medika, hal 27-59

Zhukmana, Aulia. (2009). Laporan Pendahuluan Carcinoma Cervix. http://www.scribd.com/doc/16308810/LP-CA-Cervix-Zhukma (akses tanggal 26 September 2009)

Ircham, Raden. (2008). Keperawatan maternitas Ca Cervix. http://kaeperawatanmaternitas.blogspot.com/2008/09/cancer-servic.html (akses tanggal 26 September 2009)

Sarengat, Ika. (2007). Penanganan Ca Cervix. http://susternada.blogspot.com/2007/07/penanganan-ca-cervix.html (akses tanggal 26 September 2009)

Wikipedia. (2009). Cervical Cancer. http://id.wikipedia.org/wiki/Kanker_leher_rahim (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2009). Kanker Rahim. http://kesehatan.07x.net/index.php/cervicalcancercat/58-kanker-rahim-cervical-cancer.html (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2009). Natural history of cervical cancer. http://pdfdatabase.com/download_file_i.php?file=1628579&desc=cervix+.pdf (akses tanggal 24 September 2009)

Anonymous. (2008). Penyakit kanker leher rahim. http://www.infopenyakit.com/2008/07/penyakit-kanker-leher-rahim-serviks.html (akses tanggal 2 Oktober 2009)

Admin. (2008). Penyebab dan gejala kanker leher rahim. http://www.f-buzz.com/2008/07/30/penyebab-dan-gejala-kanker-leher-rahim/. (akses tanggal 2 Oktober 2009)

Selasa, 15 Maret 2011

Asuhan Keperawatan Diabetes Mellitus

1.Pengertian diabetes mellitus


- Diabetes mellitus adalah penyakit kronis yang kompleks yang mengakibatkan gangguan metabolisme karbohidrat, protein, lemak dan berkembang menjadi komplikasi makrovaskuler, mikrovaskuler dan neurologis. (Barbara C. Long)
- Diabetes mellitus adalah suatu penyakit kronis yang menimbulkan gangguan multi sistem dan mempunyai karakteristik hyperglikemia yang disebabkan defisiensi insulin atau kerja insulin yang tidak adekuat. (Brunner dan Sudart)
- Diabetes mellitus adalah keadaan hyperglikemia kronis yang disebabkan oleh faktor lingkungan dan keturunan secara bersama-sama, mempunyai karakteristik hyperglikemia kronis tidak dapat disembuhkan tetapi dapat dikontrol (WHO).
- Diabetes mellitus adalah kumpulan gejala yang timbul pada seseorang akibat peningkatan kadar glukosa darah yang disebabkan oleh kekurangan insulin baik absolut maupun relatif (Suyono, 2002).

2.Etiologi


Etiologi dari diabetes mellitus tipe II sampai saat ini masih belum diketahui dengan pasti dari studi-studi eksperimental dan klinis kita mengetahui bahwa diabetes mellitus adalah merupakan suatu sindrom yang menyebabkan kelainan yang berbeda-beda dengan lebih satu penyebab yang mendasarinya.


Menurut banyak ahli beberapa faktor yang sering dianggap penyebab yaitu :
a.Faktor genetik
Riwayat keluarga dengan diabetes :
Pincus dan White berpendapat perbandingan keluarga yang menderita diabetes mellitus dengan kesehatan keluarga sehat, ternyata angka kesakitan keluarga yang menderita diabetes mellitus mencapai 8, 33 % dan 5, 33 % bila dibandingkan dengan keluarga sehat yang memperlihatkan angka hanya 1, 96 %.
b.Faktor non genetik
1.)Infeksi
Virus dianggap sebagai “trigger” pada mereka yang sudah mempunyai predisposisi genetic terhadap diabetes mellitus.
2.)Nutrisi
a.)Obesitas dianggap menyebabkan resistensi terhadap insulin.
b.)Malnutrisi protein
c.)Alkohol, dianggap menambah resiko terjadinya pankreatitis.

3.)Stres
Stres berupa pembedahan, infark miokard, luka bakar dan emosi biasanya menyebabkan hyperglikemia sementara.
4.)Hormonal Sindrom cushing karena konsentrasi hidrokortison dalam darah tinggi, akromegali karena jumlah somatotropin meninggi, feokromositoma karena konsentrasi glukagon dalam darah tinggi, feokromositoma karena kadar katekolamin meningkat


3.Klasifikasi


Berdasarkan klasifikasi dari WHO (1985) dibagi beberapa type yaitu :
a.Diabetes mellitus type insulin, Insulin Dependen diabetes mellitus (IDDM) yang dahulu dikenal dengan nama Juvenil Onset diabetes (JOD), klien tergantung pada pemberian insulin untuk mencegah terjadinya ketoasidosis dan mempertahankan hidup. Biasanya pada anak-anak atau usia muda dapat disebabkan karena keturunan.
b.Diabetes mellitus type II, Non Insulin Dependen diabetes mellitus (NIDDM), yang dahulu dikenal dengan nama Maturity Onset diabetes (MOD) terbagi dua yaitu :
1.)Non obesitas
2.)Obesitas
Disebabkan karena kurangnya produksi insulin dari sel beta pankreas, tetapi biasanya resistensi aksi insulin pada jaringan perifer.
Biasanya terjadi pada orang tua (umur lebih 40 tahun) atau anak dengan obesitas.
c.Diabetes mellitus type lain
1.)diabetes oleh beberapa sebab seperti kelainan pankreas, kelainan hormonal, diabetes karena obat/zat kimia, kelainan reseptor insulin, kelainan genetik dan lain-lain.
2.)Obat-obat yang dapat menyebabkan huperglikemia antara lain :
Furasemid, thyasida diuretic glukortikoid, dilanting dan asam hidotinik
3.)diabetes Gestasional (diabetes kehamilan) intoleransi glukosa selama kehamilan, tidak dikelompokkan kedalam NIDDM pada pertengahan kehamilan meningkat sekresi hormon pertumbuhan dan hormon chorionik somatomamotropin (HCS). Hormon ini meningkat untuk mensuplai asam amino dan glukosa ke fetus.


4.Patofisiologi


Sebagian besar patologi diabetes mellitus dapat dikaitkan dengan satu dari tiga efek utama kekurangan insulin sebagai berikut : (1) Pengurangan penggunaan glukosa oleh sel-sel tubuh, dengan akibat peningkatan konsentrasi glukosa darah setinggi 300 sampai 1200 mg/hari/100 ml. (2) Peningkatan mobilisasi lemak dari daerah-daerah penyimpanan lemak, menyebabkan kelainan metabolisme lemak maupun pengendapan lipid pada dinding vaskuler yang mengakibatkan aterosklerosis. (3) Pengurangan protein dalam jaringan tubuh.
Akan tetapi selain itu terjadi beberapa masalah patofisiologi pada diabetes mellitus yang tidak mudah tampak yaitu kehilangan ke dalam urine klien diabetes mellitus. Bila jumlah glukosa yang masuk tubulus ginjal dan filtrasi glomerulus meningkat kira-kira diatas 225 mg.menit glukosa dalam jumlah bermakna mulai dibuang ke dalam urine. Jika jumlah filtrasi glomerulus yang terbentuk tiap menit tetap, maka luapan glukosa terjadi bila kadar glukosa meningkat melebihi 180 mg%.
Asidosis pada diabetes, pergeseran dari metabolisme karbohidrat ke metabolisme telah dibicarakan. Bila tubuh menggantungkan hampir semua energinya pada lemak, kadar asam aseto – asetat dan asam Bihidroksibutirat dalam cairan tubuh dapat meningkat dari 1 Meq/Liter sampai setinggi 10 Meq/Liter.


5.Gambaran Klinik


Gejala yang lazim terjadi, pada diabetes mellitus sebagai berikut :
Pada tahap awal sering ditemukan :
a.Poliuri (banyak kencing)
Hal ini disebabkan oleh karena kadar glukosa darah meningkat sampai melampaui daya serap ginjal terhadap glukosa sehingga terjadi osmotic diuresis yang mana gula banyak menarik cairan dan elektrolit sehingga klien mengeluh banyak kencing.
b.Polidipsi (banyak minum)
Hal ini disebabkan pembakaran terlalu banyak dan kehilangan cairan banyak karena poliuri, sehingga untuk mengimbangi klien lebih banyak minum.
c.Polipagi (banyak makan)
Hal ini disebabkan karena glukosa tidak sampai ke sel-sel mengalami starvasi (lapar). Sehingga untuk memenuhinya klien akan terus makan. Tetapi walaupun klien banyak makan, tetap saja makanan tersebut hanya akan berada sampai pada pembuluh darah.
d.Berat badan menurun, lemas, lekas lelah, tenaga kurang. Hal ini disebabkan kehabisan glikogen yang telah dilebur jadi glukosa, maka tubuh berusama mendapat peleburan zat dari bahagian tubuh yang lain yaitu lemak dan protein, karena tubuh terus merasakan lapar, maka tubuh selanjutnya akan memecah cadangan makanan yang ada di tubuh termasuk yang berada di jaringan otot dan lemak sehingga klien dengan DM walaupun banyak makan akan tetap kurus
e.Mata kabur
Hal ini disebabkan oleh gangguan lintas polibi (glukosa – sarbitol fruktasi) yang disebabkan karena insufisiensi insulin. Akibat terdapat penimbunan sarbitol dari lensa, sehingga menyebabkan pembentukan katarak.

6.Diagnosis


Diagnosis diabetes mellitus umumnya dipikirkan dengan adanya gejala khas diabetes mellitus berupa poliuria, polidipsi, poliphagia, lemas dan berat badan menurun. Jika keluhan dan gejala khas ditemukan dan pemeriksaan glukosa darah sewaktu yang lebih 216 mg/dl sudah cukup untuk menegakkan diagnosa


7.Penatalaksanaan


Tujuan utama penatalaksanaan klien dengan diabetes mellitus adalah untuk mengatur glukosa darah dan mencegah timbulnya komplikasi acut dan kronik. Jika klien berhasil mengatasi diabetes yang dideritanya, ia akan terhindar dari hyperglikemia atau hypoglikemia. Penatalaksanaan diabetes tergantung pada ketepatan interaksi dari tiga faktor aktifitas fisik, diet dan intervensi farmakologi dengan preparat hyperglikemik oral dan insulin.
Pada penderita dengan diabetes mellitus harus rantang gula dan makanan yang manis untuk selamanya. Tiga hal penting yang harus diperhatikan pada penderita diabetes mellitus adalah tiga J (jumlah, jadwal dan jenis makanan) yaitu :
J I : jumlah kalori sesuai dengan resep dokter harus dihabiskan.
J 2 : jadwal makanan harus diikuti sesuai dengan jam makan terdaftar.
J 3 : jenis makanan harus diperhatikan (pantangan gula dan makanan manis).

Diet pada penderitae diabetes mellitus dapat dibagi atas beberapa bagian antara lain :
a.Diet A : terdiri dari makanan yang mengandung karbohidrat 50 %, lemak 30 %, protein 20 %.
b.Diet B : terdiri dari karbohidrat 68 %, lemak 20 %, protein 12 %.
c.Diet B1 : terdiri dari karbohidrat 60 %, lemak 20 %, protein 20 %.
d.Diet B1 dan B­2 diberikan untuk nefropati diabetik dengan gangguan faal ginjal.
Indikasi diet A :
Diberikan pada semua penderita diabetes mellitus pada umumnya.
Indikasi diet B :
Diberikan pada penderita diabetes terutama yang :
a.Kurang tahan lapan dengan dietnya.
b.Mempunyai hyperkolestonemia.
c.Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya pernah mengalami cerobrovaskuler acident (cva) penyakit jantung koroner.
d.Mempunyai penyulit mikroangiopati misalnya terdapat retinopati diabetik tetapi belum ada nefropati yang nyata.
e.Telah menderita diabetes dari 15 tahun
Indikasi diet B1
Diberikan pada penderita diabetes yang memerlukan diet protein tinggi, yaitu penderita diabetes terutama yang :
a.Mampu atau kebiasaan makan tinggi protein tetapi normalip idemia.
b.Kurus (underweight) dengan relatif body weight kurang dari 90 %.
c.Masih muda perlu pertumbuhan.
d.Mengalami patah tulang.
e.Hamil dan menyusui.
f.Menderita hepatitis kronis atau sirosis hepatitis.
g.Menderita tuberkulosis paru.
h.Menderita penyakit graves (morbus basedou).
i.Menderita selulitis.
j.Dalam keadaan pasca bedah.
Indikasi tersebut di atas selama tidak ada kontra indikasi penggunaan protein kadar tinggi.
Indikasi B2 dan B3
Diet B2
Diberikan pada penderita nefropati dengan gagal ginjal kronik yang klirens kreatininnya masih lebar dari 25 ml/mt.
Sifat-sifat diet B2
a.Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari tetapi mengandung protein kurang.
b.Komposisi sama dengan diet B, (68 % hidrat arang, 12 % protein dan 20 % lemak) hanya saja diet B2 kaya asam amino esensial.
c.Dalam praktek hanya terdapat diet B2 dengan diet 2100 – 2300 kalori / hari.
Karena bila tidak maka jumlah perhari akan berubah.
Diet B3
Diberikan pada penderita nefropati diabetik dengan gagal ginjal kronik yang klibers kreatininnya kurang dari 25 MI/mt
Sifat diet B3
a.Tinggi kalori (lebih dari 2000 kalori/hari).
b.Rendah protein tinggi asam amino esensial, jumlah protein 40 gram/hari.
c.Karena alasan No 2 maka hanya dapat disusun diet B3 2100 kalori dan 2300 / hari. (bila tidak akan merubah jumlah protein).
d.Tinggi karbohidrat dan rendah lemak.
e.Dipilih lemak yang tidak jenuh.
Semua penderita diabetes mellitus dianjurkan untuk latihan ringan yang dilaksanakan secara teratur tiap hari pada saat setengah jam sesudah makan. Juga dianjurkan untuk melakukan latihan ringan setiap hari, pagi dan sore hari dengan maksud untuk menurunkan BB.
Penyuluhan kesehatan.
Untuk meningkatkan pemahaman maka dilakukan penyuluhan melalui perorangan antara dokter dengan penderita yang datang. Selain itu juga dilakukan melalui media-media cetak dan elektronik.

8.Komplikasi


a.Akut
1.)Hypoglikemia
2.)Ketoasidosis
3.)Diabetik
b.Kronik
1.)Makroangiopati, mengenai pembuluh darah besar, pembuluh darah jantung pembuluh darah tepi, pembuluh darah otak.
2.)Mikroangiopati mengenai pembuluh darah kecil retinopati diabetik, nefropati diabetic.
3.)Neuropati diabetic.

B.Konsep Dasar Asuhan Keperawatan


Pemberian asuhan keperawatan merupakan proses terapeutik yang melibatkan hubungan kerja sama antara perawat dengan klien dan keluarga, untuk mencapai tingkat kesehatan yang optimal dalam melakukan proses terapeutik maka perawat melakukan metode ilmiah yaitu proses keperawatan.
Proses keperawatan merupakan tindakan yang berurutan yang dilakukan secara sistematis dengan latar belakang pengetahuan komprehensif untuk mengkaji status kesehatan klien, mengidentifikasi masalah dan diagnosa, merencanakan intervensi mengimplementasikan rencana dan mengevaluasi rencana sehubungan dengan proses keperawatan pada klien dengan gangguan sistem endokrin.


1.Pengkajian
Pengkajian pada klien dengan gangguan sistem endokrin diabetes mellitus dilakukan mulai dari pengumpulan data yang meliputi : biodata, riwayat kesehatan, keluhan utama, sifat keluhan, riwayat kesehatan masa lalu, pemeriksaan fisik, pola kegiatan sehari-hari.
Hal yang perlu dikaji pada klien degan diabetes mellitus :
a.Aktivitas dan istirahat :
Kelemahan, susah berjalan/bergerak, kram otot, gangguan istirahat dan tidur, tachicardi/tachipnea pada waktu melakukan aktivitas dan koma.
b.Sirkulasi
Riwayat hipertensi, penyakit jantung seperti IMA, nyeri, kesemutan pada ekstremitas bawah, luka yang sukar sembuh, kulit kering, merah, dan bola mata cekung.
c.Eliminasi
Poliuri,nocturi, nyeri, rasa terbakar, diare, perut kembung dan pucat.
d.Nutrisi
Nausea, vomitus, berat badan menurun, turgor kulit jelek, mual/muntah.
e.Neurosensori
Sakit kepala, menyatakan seperti mau muntah, kesemutan, lemah otot, disorientasi, letargi, koma dan bingung.
f.Nyeri
Pembengkakan perut, meringis.
g.Respirasi
Tachipnea, kussmaul, ronchi, wheezing dan sesak nafas.
h.Keamanan
Kulit rusak, lesi/ulkus, menurunnya kekuatan umum.
i.Seksualitas
Adanya peradangan pada daerah vagina, serta orgasme menurun dan terjadi impoten pada pria.

2.Diagnosa Keperawatan
Berdasarkan pengkajian data keperawatan yang sering terjadi berdasarkan teori, maka diagnosa keperawatan yang mungkin muncul pada klien diabetes mellitus yaitu :
a.Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
b.Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
c.Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
d.Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
e.Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
f.Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
g.Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi informasi.

3.Rencana Keperawatan
a.Kekurangan volume cairan tubuh berhubungan dengan diuresis osmotik.
Tujuan :
Mendemonstrasikan hidrasi adekuat dibuktikan oleh tanda vital stabil, nadi perifer dapat diraba, turgor kulit dan pengisian kapiler baik, haluaran urine tepat secara individu, dan kadar elektrolit dalam batas normal.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital.
Rasional : Hypovolemia dapat dimanifestasikan oleh hipotensi dan takikardia.
2.)Kaji nadi perifer, pengisian kapiler, turgor kulit, dan membran mukosa.
Rasional : Merupakan indikator dari tingkat dehidrasi, atau volume sirkulasi yang adekuat.
3.)Pantau masukan dan keluaran, catat berat jenis urine.
Rasional : Memberikan perkiraan kebutuhan akan cairan pengganti, fungsi ginjal, dan keefektifan dari terapi yang diberikan.
4.)Timbang berat badan setiap hari.
Rasional : Memberikan hasil pengkajian yang terbaik dari status cairan yang sedang berlangsung dan selanjutnya dalam memberikan cairan pengganti.
5.)Berikan terapi cairan sesuai indikasi.
Rasional : Tipe dan jumlah dari cairan tergantung pada derajat kekurangan cairan dan respons pasien secara individual.


b.Perubahan status nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan ketidakcukupan insulin, penurunan masukan oral.
Tujuan :
Mencerna jumlah kalori/nutrien yang tepat
Menunjukkan tingkat energi biasanya
Berat badan stabil atau bertambah.
Intervensi :
1.)Tentukan program diet dan pola makan pasien dan bandingkan dengan makanan yang dapat dihabiskan oleh pasien.
Rasional : Mengidentifikasi kekurangan dan penyimpangan dari kebutuhan terapeutik.
2.)Timbang berat badan setiap hari atau sesuai indikasi.
Rasional : Mengkaji pemasukan makanan yang adekuat (termasuk absorbsi dan utilisasinya).
3.)Identifikasi makanan yang disukai/dikehendaki termasuk kebutuhan etnik/kultural.
Rasional : Jika makanan yang disukai pasien dapat dimasukkan dalam perencanaan makan, kerjasama ini dapat diupayakan setelah pulang.
4.)Libatkan keluarga pasien pada perencanaan makan sesuai indikasi.
Rasional : Meningkatkan rasa keterlibatannya; memberikan informasi pada keluarga untuk memahami nutrisi pasien.
5.)Berikan pengobatan insulin secara teratur sesuai indikasi.
Rasional : Insulin reguler memiliki awitan cepat dan karenanya dengan cepat pula dapat membantu memindahkan glukosa ke dalam sel.


c.Resiko infeksi berhubungan dengan hyperglikemia.
Tujuan :
Mengidentifikasi intervensi untuk mencegah/menurunkan resiko infeksi.
Mendemonstrasikan teknik, perubahan gaya hidup untuk mencegah terjadinya infeksi.
Intervensi :
1).Observasi tanda-tanda infeksi dan peradangan.
Rasional : Pasien mungkin masuk dengan infeksi yang biasanya telah mencetuskan keadaan ketoasidosis atau dapat mengalami infeksi nosokomial.
2).Tingkatkan upaya untuk pencegahan dengan melakukan cuci tangan yang baik pada semua orang yang berhubungan dengan pasien termasuk pasiennya sendiri.
Rasional : Mencegah timbulnya infeksi silang.
3).Pertahankan teknik aseptik pada prosedur invasif.
Rasional : Kadar glukosa yang tinggi dalam darah akan menjadi media terbaik bagi pertumbuhan kuman.
4).Berikan perawatan kulit dengan teratur dan sungguh-sungguh.
Rasional : Sirkulasi perifer bisa terganggu yang menempatkan pasien pada peningkatan resiko terjadinya kerusakan pada kulit/iritasi kulit dan infeksi.
5).Lakukan perubahan posisi, anjurkan batuk efektif dan nafas dalam.
Rasional : Membantu dalam memventilasi semua daerah paru dan memobilisasi sekret.


d.Resiko tinggi terhadap perubahan persepsi sensori berhubungan dengan ketidakseimbangan glukosa/insulin dan atau elektrolit.
Tujuan :
Mempertahankan tingkat kesadaran/orientasi.
Mengenali dan mengkompensasi adanya kerusakan sensori.
Intervensi :
1.)Pantau tanda-tanda vital dan status mental.
Rasional : Sebagai dasar untuk membandingkan temuan abnormal
2.)Panggil pasien dengan nama, orientasikan kembali sesuai dengan kebutuhannya.
Rasional : Menurunkan kebingungan dan membantu untuk mempertahankan kontak dengan realitas.
3.)Pelihara aktivitas rutin pasien sekonsisten mungkin, dorong untuk melakukan kegiatan sehari-hari sesuai kemampuannya.
Rasional : Membantu memelihara pasien tetap berhubungan dengan realitas dan mempertahankan orientasi pada lingkungannya.
4.)Selidiki adanya keluhan parestesia, nyeri atau kehilangan sensori pada paha/kaki.
Rasional : Neuropati perifer dapat mengakibatkan rasa tidak nyaman yang berat, kehilangan sensasi sentuhan/distorsi yang mempunyai resiko tinggi terhadap kerusakan kulit dan gangguan keseimbangan.


e.Kelelahan berhubungan dengan penurunan produksi energi metabolik.
Tujuan :
Mengungkapkan peningkatan tingkat energi.
Menunjukkan perbaikan kemampuan untuk berpartisipasi dalam aktivitas yang diinginkan.
Intervensi :
1.)Diskusikan dengan pasien kebutuhan akan aktivitas.
Rasional : Pendidikan dapat memberikan motivasi untuk meningkatkan tingkat aktivitas meskipun pasien mungkin sangat lemah.
2.)Berikan aktivitas alternatif dengan periode istirahat yang cukup.
Rasional : Mencegah kelelahan yang berlebihan.
3.)Pantau nadi, frekuensi pernafasan dan tekanan darah sebelum/sesudah melakukan aktivitas.
Rasional : Mengindikasikan tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi secara fisiologis.
4.)Tingkatkan partisipasi pasien dalam melakukan aktivitas sehari-hari sesuai toleransi.
Rasional : Meningkatkan kepercayaan diri/harga diri yang positif sesuai tingkat aktivitas yang dapat ditoleransi.


f.Ketidakberdayaan berhubungan dengan penyakit jangka panjang/progresif yang tidak dapat diobati, ketergantungan pada orang lain.
Tujuan :
Mengakui perasaan putus asa
Mengidentifikasi cara-cara sehat untuk menghadapi perasaan.
Membantu dalam merencanakan perawatannya sendiri dan secara mandiri mengambil tanggung jawab untuk aktivitas perawatan diri.
Intervensi :
1.)Anjurkan pasien/keluarga untuk mengekspresikan perasaannya tentang perawatan di rumah sakit dan penyakitnya secara keseluruhan.
Rasional : Mengidentifikasi area perhatiannya dan memudahkan cara pemecahan masalah.
2.)Tentukan tujuan/harapan dari pasien atau keluarga.
Rasional : Harapan yang tidak realistis atau adanya tekanan dari orang lain atau diri sendiri dapat mengakibatkan perasaan frustasi.kehilangan kontrol diri dan mungkin mengganggu kemampuan koping.
3.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri dan berikan umpan balik positif sesuai dengan usaha yang dilakukannya.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.
4.)Berikan dukungan pada pasien untuk ikut berperan serta dalam perawatan diri sendiri.
Rasional : Meningkatkan perasaan kontrol terhadap situasi.


g.Kurang pengetahuan tentang penyakit, prognosis dan kebutuhan pengobatan berhubungan dengan kurangnya pemajanan/mengingat, keselahan interpretasi informasi.
Tujuan :
Mengungkapkan pemahaman tentang penyakit.
Mengidentifikasi hubungan tanda/gejala dengan proses penyakit dan menghubungkan gejala dengan faktor penyebab.
Dengan benar melakukan prosedur yang perlu dan menjelaskan rasional tindakan.
Intervensi :
1.)Ciptakan lingkungan saling percaya
Rasional : Menanggapai dan memperhatikan perlu diciptakan sebelum pasien bersedia mengambil bagian dalam proses belajar.
2.)Diskusikan dengan klien tentang penyakitnya.
Rasional : Memberikan pengetahuan dasar dimana pasien dapat membuat pertimbangan dalam memilih gaya hidup.
3.)Diskusikan tentang rencana diet, penggunaan makanan tinggi serat.
Rasional : Kesadaran tentang pentingnya kontrol diet akan membantu pasien dalam merencanakan makan/mentaati program.
4.)Diskusikan pentingnya untuk melakukan evaluasi secara teratur dan jawab pertanyaan pasien/orang terdekat.
Rasional : Membantu untuk mengontrol proses penyakit dengan lebih ketat.

Senin, 14 Maret 2011

Laporan Pendahuluan Askep Typoid

Pengertian

Febris typhoid adalah merupakan salah satu penyakit infeksi akut usus halus yang menyerang saluran pencernaan disebabkan oleh kuman salmonella typhi dari terkontaminasinya air / makanan yang biasa menyebabkan enteritis akut disertai gangguan kesadaran (Suriadi dan Yuliani, R., 2001).

Demam typhoid adalah penyakit sistemik akut akibat infeksi salmonella typhi yang ditandai dengan malaise (Corwin, 2000).

Etiologi

Menurut Ngastiyah (2005) penyebab utama dari penyakit ini adalah kuman Salmonella typhosa, Salmonella typhi, A, B, dan C. Kuman ini banyak terdapat di kotoran, tinja manusia, dan makanan atau minuman yang terkena kuman yang di bawa oleh lalat. Sebenarnya sumber utama dari penyakit ini adalah lingkungan yang kotor dan tidak sehat. Tidak seperti virus yang dapat beterbangan di udara, bakteri ini hidup di sanitasi yang buruk seperti lingkungan kumuh, makanan, dan minuman yang tidak higienis.
Salmonella typosa merupakan basil gram negatif yang bergerak dengan bulu getar, tidak berspora, mempunyai sekurang-kurangnya 3 macam antigen, yaitu antigen O, antigen somatik yang tidak menyebar, terdiri dari zat komplek lipopolisakarida, antigen Vi (kapsul) yang meliputi tubuh kuman dan melindungi O antigen terhadap fagositosis dan antigen H (flagella). Ketiga jenis antigen tersebut dalam tubuh manusia akan menimbulkan pembentukkan tiga macam antibody yang biasa disebut agglutinin (Arif Mansjoer, 2000).

Patofisiologi

Corwin (2000) mengemukakan bahwa kuman salmonella typhi masuk ke dalam tubuh manusia melalui mulut dengan makanan dan air yang tercemar. Sebagian kuman dimusnahkan oleh asam lambung dan sebagian lagi masuk ke usus halus dan mencapai jaringan limfoid plaque pleyeri di liteum terminalis yang mengalami hipertropi. Ditempat ini komplikasi perdarahan dan perforasi intestinal dapat terjadi. Kuman salmonella typhi kemudian menembus ke dalam lamina profia, masuk aliran limfe dan mencapai kelenjar limfe mesentrial yang juga mengalami hipertropi.

Setelah melewati kelenjar-kelenjar limfe ini, salmonella typhi masuk aliran darah melalui duktus toracicus. Kuman-kuman salmonella typhi mencapai hati melalui sirkulasi portal dari usus. Salmonella typhi bersarang di plaque pleyeri, limfe, hati dan bagian-bagian lain dari sistem retikulo endotelial. Semula disangka demam dan gejala-gejala syoksemia pada demam typhoid disebabkan oleh endotoksemia, tetapi kemudian berdasarkan penelitian eksperimental disimpulkan bahwa endotoksemia bukan penyebab utama demam dan gejala-gejala toksemia pada demam typhoid. Endotoksin salmonella typhi salmonella typhi berperan dalam patogenesis demam typhoid, karena membantu proses terjadinya inflamasi lokal pada jaringan tempat salmonella typhi berkembang biak. Demam pada typhoid disebabkan karena salmonella typhi dan endotoksinnya merangsang sintesis dan pelepasan septi pirogen oleh leukosit pada jaringan yang meradang.

Manifestasi Klinik

Menurut Corwin (2000) proses bekerjanya bakteri ini ke dalam tubuh manusia cukup cepat, yaitu 24-72 jam setelah masuk, meski belum menimbulkan gejala, tetapi bakteri telah mencapai organ-organ hati, kandung empedu, limpa, sumsum tulang, dan ginjal. Rentang waktu antara masuknya kuman sampai dengan timbulnya gejala penyakit, sekitar 7 hari. Gejalanya sendiri baru muncul setelah 3 sampai 60 hari. Pada masa-masa itulah kuman akan menyebar dan berkembang biak.

Soedarto (2007) mengemukakan bahwa manifestasi klinis klasik yang umum ditemui pada penderita demam typhoid biasanya disebut febris remitter atau demam yang bertahap naiknya dan berubah-ubah sesuai dengan keadaan lingkungan dengan perincian :
Minggu pertama, demam lebih dari 40°C, nadi yang lemah bersifat dikrotik, dengan denyut nadi 80-100 per menit.
Minggu kedua, suhu tetap tinggi, penderita mengalami delirium, lidah tampak kering mengkilat, denyut nadi cepat. Tekanan darah menurun dan limpa dapat diraba.
Minggu ketiga,
Jika keadaan membaik : suhu tubuh turun, gejala dan keluhan berkurang.
Jika keadaan memburuk : penderita mengalami delirium, stupor, otot-otot bergerak terus, terjadi inkontinensia alvi dan urine. Selain itu terjadi meteorisme dan timpani, dan tekanan perut meningkat, disertai nyeri perut. Penderita kemudian kolaps, dan akhirnya meninggal dunia akibat terjadinya degenerasi mikardial toksik.
Minggu keempat, bila keadaan membaik, penderita akan mengalami penyembuhan meskipun pada awal minggu ini dapat dijumpai adanya pneumonia lobar atau tromboflebitis vena femoralis.

Pemeriksaan Penunjang

Pemeriksaan diagnostik untuk pasien dengan kasus febris typhoid menurut Corwin (2000) antara lain :
Pemeriksaan Leukosit
Pada febris typhoid terhadap ileumopenia dan limfobrastis relatif tetap kenyataan leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kasus febris typhoid jumlah leukosit pada sediaan darah tepi pada berada dalam batas normal, walaupun kadang-kadang terikat leukositanis tidak ada komplikasi berguna untuk febris typhoid.
Pemeriksaan SGOT dan SGPT
Sering kali meningkat tetapi kembali normal setelah sembuhnya febris typhoid, kenaikan SGOT dan SGPT tidak memerlukan pembatasan pengobatan.
Kenaikan Darah
Gerakan darah (+) memastikan febris typhoid tetapi biakan (-) tidak menyingkirkan febris typhoid. Hal ini karena hasil biakan darah bergantung pada beberapa faktor, yaitu :
Tekhnik pemeriksaan laboratorium.
Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit.
Laksinasi di masa lampau.
Pengobatan dengan obat anti mikroba.
Uji Widal
Suatu uji dimana antara antigen dan antibodi yang spesifik terhadap saluran monolle typhi dalam serum pasien dengan febris typhoid juga pada orang yang pernah terkena salmonella typhi dan pada orang yang pernah divaksinasi terhadap febris typhoid dengan tujuan untuk menentukan adanya aglutinin dalam serum penderita yang disangka menderita febris typhoid. Hasil pemeriksaan widal, titer antibodi terhadap antigen O yang bernilai ≥ 1/200 atau peningkatan ≥ 4 kali antara masa akut dan konvalesens mengarah pada demam typhoid, meskipun dapat terjadi positif ataupun negatif palsu akibat adanya reaksi silang antara spesies salmonella.
Diagnosis mikrobiologis merupakan metode diagnosis yang paling spesifik. Kultur darah dan sum-sum tulang positif pada minggu pertama dan kedua, sedang minggu ketiga dan keempat kultur tinja dan kultur urin positif (Wong, 2003).

Penatalaksanaan

Penderita tifus perlu dirawat dirumah sakit untuk isolasi (agar penyakit ini tidak menular ke orang lain). Penderita harus istirahat total minimal 7 hari bebas panas. Istirahat total ini untuk mencegah terjadinya komplikasi di usus. Makanan yang dikonsumsi adalah makanan lunak dan tidak banyak berserat. Sayuran dengan serat kasar seperti daun singkong harus dihindari, jadi harus benar-benar dijaga makanannya untuk memberi kesempatan kepada usus menjalani upaya penyembuhan.

Pengobatan yang diberikan untuk pasien febris typoid adalah antibiotika golongan Chloramphenicol dengan dosis 3-4 x 500 mg/hari; pada anak dosisnya adalah 50-100 mg/kg berat badan/hari. Jika hasilnya kurang memuaskan dapat memberikan obat seperti :
Tiamfenikol, dosis dewasa 3 x 500 mg/hari, dosis anak: 30-50 mg/kg berat badan/hari.
Ampisilin, dosis dewasa 4 x 500 mg, dosis anak 4 x 500-100 mg/kg berat badan/hari.
Kotrimoksasol ( sulfametoksasol 400 mg + trimetoprim 80 mg ) diberikan dengan dosis 2 x 2 tablet/hari.

Dan untuk pencegahan agar tidak terjangkit penyakit febris typoid perlu memperhatikan beberpa hal sebagai berikut :
Harus menyediakan air yang memenuhi syarat. Misalnya, diambil dari tempat yang higienis, seperti sumur dan produk minuman yang terjamin. Jangan gunakan air yang sudah tercemar. Apabila menggunakan air yang harus dimasak terlebih dahulu maka dimasaknya harus 1000C.
Menjaga kebersihan tempat pembuangan sampah.
Upayakan tinja dibuang pada tempatnya dan jangan pernah membuangnya secara sembarangan sehingga mengundang lalat karena lalat akan membawa bakteri Salmonella typhi.
Bila di rumah banyak lalat, basmilah hingga tuntas.
e. Daya tahan tubuh juga harus ditingkatkan ( gizi yang cukup, tidur cukup dan teratur, olah raga secara teratur 3-4 kali seminggu). Hindarilah makanan yang tidak bersih. Belilah makanan yang masih panas sehingga menjamin kebersihannya. Jangan banyak jajan makanan/minuman di luar rumah.

(Soedarto, 2007)

Senin, 07 Maret 2011

LAPORAN PENDAHULUAN PADA SISTEM PERKEMIHAN BERHUBUNGAN DENGAN : OBSTRUKSI RENAL KALKULUS ( BATU GINJAL PERKEMIHAN )

A. Pengertian
1. Batu Ginjal adalah batu ginjal yang terbentuk dalam urine yang bersifat asam terdiri dari kalsium oksalat, kristal asam urat, sistin. Sekitar 2/3 dari semua jenis batu ginjal adalah jenis kalsium oksalat, sedangkan batu yang sering terbentuk dalam urine yang basa terdiri dari kalsium fosfat atau magnesium amonium fosfat (batu triple fosfat atau strufit). Kalsium fosfat atau oksalat sering ditemukan pada batu triple fosfat. Batu triple fosfat sering dihubungkan dengan infeksi saluran kemih, terutama disebabkan oleh organisme yang dapat memecah urea.
( Slavia, A. Price, Lorraine M, willson. Hal : 897 )
2. batu ginjal (kalkulus) adalah bentuk deposit mineral, paling umum oksalat Ca 2+ dan fosfat Ca 2+ namun asam urat dan kristal lain juga berbentuk batu. Meskipun kalkulus ginjal dapat terbentuk di mana saja dari saluran perkemihan, batu ini palin umum ditemukan di pelvis dan kaliq ginjal, batu ginjal dapat tetap asimtomatik sampai luar kedalam ureter dan aliran urine terhambat, bila potensial kerusakan ginjal adalah akut.
( marlynn E. Doengoes, Hal : 686 )
3. urolitiasis mengacu pada adanya batu ( kalkuli) ditraktus urinarius, batu terbentuk ditraktus urinarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosdat dan asam urat meningkat. Batu juga dapat terbentuk ketika terdapat difisiensi subtansi tertentu, seperti sitrat yang secara normal mencegah kristalisasi dalam urine, kondisi lain yang mempengaruhi laju pembentukan batu PH urine dan status cairan pasien (batu cenderung terjadi pada pasien dehidrasi).
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1460)



B. Anatomi dan Fisiologi
 Kedudukan
Ginjal suatu kelenjar yang terletak di bagian belakang dari kavum abdominalis dibelakang peritonium pada kedua sisi vertebra lumbalis III, melekat langsung pada dinding belakang abdomen.
 Bentuk
Bentuknya seperti biji kacang, jumlah ada 2 buah kiri dan kanan, ginjal kiri lebih besar dari ginjal kanan dan pada umumnya ginjal laki-laki lebih panjang dari wanita.
Fungsi Ginjal terdiri dari :
1. memegang peranan penting dalam pengeluaran zat-zat toksis atau racun.
2. mempertahankan suasana keseimbangan cairan.
3. mempertahankan keseimbangan kadar asam dan basa dari cairan tubuh.
4. mempertahankan keseimbangan garam-garam dan zat-zat lain dalam tubuh.
5. mengeluarkan sisa-sisa metabolisme hasil akhir dari protein ureum, kreatin dan amoniak.
 Tes untuk protein (Albumin)
Bila ada kerusakan pada glomerulus atau tubulus maka protein dapat bocor masuk ke dalam urin.
 Mengukur Konsentrasi ureum darah
Bila ginjal tidak cukup mengeluarkan ureum maka ureun darah akan naik di atas kadar normal (20-40) mg%.
 Tes Konsentrasi
Dilarang makan atau minum dalam 12 jam untuk melihat sampai berapa tinggi berat jenisnya naik.
 Struktur Ginjal
Setiap ginjal terbungkus oleh selaput tipis yang disebut kapsula renalis yang terdiri dari jaringan fibrus berwarna ungu tua, lapisan luar terdapat lapisan korteks (subtansia kortekalis), dan lapisan sebelah dalam medulal (subtansia medularis) berbentuk kerucut yang disebut renal piramid, puncak kerucut tadi menghadap kaliks yang terdiri dan lubang-lubang kecil disebut papila renalis. Tiap-tiap piramid dilapisi satu dengan yang lain oleh kolumna renalis, jumlah renalis 15-16 buah.
Garis-garis yang terlihat paua piramid disebut tubulus nefron yang merupakan bagian terkecil dari ginjal yang terdiri dari : Glomerulus, Tubulus Proksimal (tubulus kontorti satu), gelung hendle, tubulus distal (tubuli kontorti dua) dan tubulus urinerius (papila vateri).
Pada setiap ginjal diperkirakan ada 1.000.000 nefron, selama 24 jam dapat menyaring darah 170 liter, arteri renalis membawa darah murni dari aorta ke ginjal lubang-lubang yang terdapat pada piramid renal masing-masin g membentuk simpul dan kapiler satu badan malpigi yang disebut glomerulus, pembuluh aferent yang bercabang membentuk kalpiler menjadi vena renalis yang membawa darah dari ginjal ke vena kava inferior.
 Proses Pembentukan Urin (Air Kemih)
Glomerulus berfungsi sebagai ultra filtrasi, pada simpai bowmen berfungsi untuk menampung hasil filtrasi dari glomerulus.
Pada tubulus ginal akan terjadi penyerapan kembali dari zat-zat yang sudah disaring pada glomerulus, sisa cairan akan diteruskan ke piala ginjal terus berlanjut ke ureter.
Urin berasal dari darah yang dibawa oleh arteri renalis masuk kedalam ginjal, darah ini terdiri dari bagian yang padat yaitu sel darah dan bagian plasma darah.
Ada 3 tahap pembentukan urin :
1. Proses Filtasi
Terjadi di glomerulus, proses ini terjadi karena aferent lebih besar dari permukaan eferent maka terjadi penyerapan darah, sedangkan sebagian yang tersaring adalah bagian cairan darah kecuali protein, cairan yang tersaring ditampung oleh simpai bowmen yang terdiri dari glokusa, air, sodium, klorida, sulfat, bikarbonat dll. Diteruskan ketubulus ginjal.
2. Proses Reabsorsi
Pada proses ini terjadi penyerapan kembali sebagian besar dari glukosa, sodium, klorida, fosfat dan beberapa ion karbonat. Proses terjadinya secara pasif yang dikenal dengan obligator reabsorsi terjadi pada stibulus atas. Sedangkan pada tubulus ginjal bagian bawah terjadi kembali penyerapan sodium dan ion karbonat, bila diperlukan akan diserap kembali ke dalam tubulus bagian bawah, penyerapannya secara aktif dikenal sebagai reabsorsi fakultatif dan sisanya dialirkan pada papila renalis.
3. Proses Sekresi
Sisanya penyerapan kembali pada tubulus dan diteruskan ke piala ginjal selanjutnya diteruskan ke luar .
 Peredaran Darah
Ginjal mendapat darah dari aorta abdominalis yang mempunyai percabangan arteria renalis, arteria ini berpasangan kiri dan kanan, arteria renalis ini bercabang menjadi arteria interloburis kemudian menjadi arteri arkuata, arteria interloburis yang berada ditepi ginjal bercabang menjadi kapiler membentuk gumpalan-gumpalan yang disebut glomerulus.
Glomerulus ini oleh alat yang disebut simpai bowmen, disini terjadi penyaringan pertama dan kapiler darah yang meninggalkan simpai bowmen kemudian menjadi vena renalis masuk ke vena kava inferior.
 Persyarafan Ginjal
Ginjal mendapatkan persarafan dari fleksus renalis (vasomotor) saraf ini untuk mengatur jumlah darah yang masuk ke dalam ginjal, saraf ini berjalan bersamaan dengan pembuluh darah yang masuk ginjal.
Anak ginjal (kelenjar suprarenal). Diatas ginjal terdapat kelenjar suprarenalis, kelenjar ini merupakan sebuah kelenjar buntu yang menghasilkan 2 macam hormon yaitu hormon adrenalin dan hormon kortison. Hormon Adrenalin dihasilakan oleh medula.
(Ester & Yamin, 1997 : 108)
C. Etiologi
1. teori inti (nukleus) : kristal dan benda asing merupakan tempat tempat pengendapan, kristal pada urine yang sudah mengalami supersaturasi.
2. teori matrix : matrix organik yang berasal dari serum atau protein urine memberikan kemungkinan pengendapan kristal.
3. teori inhibitor kristalisasi : beberapa subtansi dalam urine menghambat terjadinya kristalisasi, konsentrasi yang rendah atau absenia substansi ini memungkinkan terjadinya terjadinya kristalisasi.
Pembentukan batu membutuhkan supersaturasi dimana supersaturasi itu tergantung pada PH urine, kekuatan ion, konsentrasi cairan dan pembentukan kompleks.
Batu kalsium dapat disebabkan oleh :
a. Hiperkalsiuria absorptif : gangguan metabolisme yang menyebabkan absorpsi pada usus yang berlebihan juga pengaruh vitamin D dan Hiperparatirod.
b. Hiperkalsiuria Renalis : kebocoran pada ginjal
(Mansjoer. A, 2001 : 334)
D. Patofisiologi
Kandung kemih berkontraksi lebih kuat dari biasanya hingga sampai suatu saat akan melemah, otot kandung kemih semula menebal sehingga terjadi trabekulasi pada fase konpensasi, kemudian timbul sakulasi (penonjolan mukosa didalam otot) dan divertikel (menonjol keluar) pada fase dekompensasi akan timbul residu urine yang memudahkan terjadinya infeksi. Tekanan didalam kandung kemih yang tinggi akan menyebabkan refluks sehingga urine masuk lagi ke ureter bahkan sampai ke ginjal. Infeksi dan refluks dapat menyebabkan pieolonefritis akut atau kronik yang kemudian menyebabkan gagal ginjal.
(Mansjoer. A, 2001 : 334)
Urolitiasis mengecu pada adanya batu (kalkuli) ditraktus urinarius, batu terbentuk ditraktu urienarius ketika konsentrasi subtansi tertentu seperti kalsium oksalat, kalsium fosgat, dan asam urat meningkat batu dapat terbentuk ketika terdapat defesiensi substansi tertentu.
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1460)
E. Manifestasi Klinis
Pasien dengan batu akan merasa pegal dan koliks pada daerah sudut kostofertebralis = (VA). Pada pemeriksaan didapatkan nyeri tekan dan nyeri ketok, bila terjadi hidronefrosis akan teraba adanya masa, dapat terjadi infeksi dan bila terjadi seksis akan timbul demam, menggigil dan apatis. Gejala traktus digestivus seperti nausea, vomitus dan distensi abdomen dapat terjadi karena ileus paralitik, hematuria, dapat terjadi secara mikro (90%) makro (10%).
(Mansjoer. A, 2001 : 334)
F. Komplikasi Potensial
Infeksi dan obstruksi karena batu ginjal meningkatkan resiko infeksi sepsis dan obstruksi traktus urienarius pada gagal ginjal berikutnya.
(Brunner & Suddarth, 2002. hal: 1467)
G. Penatalaksanaan
• Tujuan dasar penatalaksanaan adalah untuk menghilangkan batu, menentukan jenis batu, mencegah kerusakan nefron, mengendalikan infeksi dan mengurangi obstruksi yang terjadi.
• Jenis penatalaksanaan medik :
 Operasi terbuka
 Operasi Endoskopik (PNCL, URS, LITHOTRIPSY, LITHOTRIPSI MEKANIK DLL).
 Ekstra Corporeal shockwave Lithotripsy
• Terapi konserfatif dengan diuretik hanya dilakukan pada batu ureter yang berukuran : < 5 mm dengan Hidronefrosis ringan nyeri koliknya sudah diatasi.
(Mansjoer. A, 2001 : 337)
• Pengurangan nyeri
Tujuan : untuk mengurangi nyeri sampai penyebabnya dapat dihilangkan, morfin atau meperiden diberikan untuk mencegah syok dan synkop akibat nyeri yang luar biasa, mandi air panas atau air hangat diarea panggul sangat bermanfaat. Cairan diberikan kecuali pasine mengalami muntah atau menderita gagal jantung kongestif atau kondisi lain yang memerlukan pembatasan cairan, ini meningkatkan tekanan Hidrostaltik pada ruang dibelakang batu sehingga mendorong pasase batu tersebut kebawah, masukan cairan sepanjang hari mengurangi konsentrasi kristaloid urine, mengencerkan urine dan menjamin haluran urine yang besar.


• Pengangkatan batu
Pemeriksaan sistoskopik dan pasase kateter uretral kecil untuk menghilangkan batu yang mengakibatkan obstruksi (jika mungkin) akan segera mengurangi tekanan belakang pada ginjal dan mengurangi nyeri. Ketika batu telah ditemukan analisis kimiawi dilakukan untuk menentukan komposisinya, analisis batu dapat membuktikan indikasi yang jelas mengenai penyakit yang mendasari contoh : batu kalsium oksalat atau kalsium fosfat biasanya menunjukkan adanya gangguan metabolisme kalsium atau oksalat, sedangkan batu urat menunjukkan adanya gangguan metabolisme asam urat, batu setrufit (batu infeksi) sekitar 15% dari seluruh batu urinarius agen anti bekterial spesifik diberikan jika infeksi.
• Terapi nutrisi dan Medikasi
• Lithotripsy Gelombang Kejut ekstra porporeal
• Metode Endourologi pengangkatan batu
• Metode pelarutan batu
• Metode pengangkatan bedah
 Nefrolitotomi (Insisi pada ginjal untuk mengangkat batu)
 Nefrektomi
 Pielolitotomi
 Uretrolitotomi
 Sistostomi
 Sistolitolapaksi

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kekurangan volume cairan b.d. IWL, dehidrasi
2. Perubahan eliminasi urine b.d. stimulasi kandung kemih oleh batu, iritasi ginjal atau uretral, obstruksi mekanik, inflamasi.
3. Nyeri b.d. inflamasi, obstruksi dan abrasi traktus urinarius
4. kurang pengetahuan tentang pencegahan batu dan kekambuhan batu renal
5. Resiko tinggi gagal ginjal b.d. intoleransi aktivitas.

LAPORAN PENDAHULUAN MENARIK DIRI

1. Pengertian
Menarik diri merupakan percobaan untuk menghindari interaksi dengan orang lain, menghindari hubungan dengan orang lain (Rawlins,1993). Terjadinya perilaku menarik diri dipengaruhi oleh faktor predisposisi dan stressor presipitasi. Faktor perkembangan dan sosial budaya merupakan faktor predispoisi terjadinya perilaku menarik diri. Kegagalan perkembangan dapat mengakibatkan individu tidak percaya diri, tidak percaya orang lain, ragu, takut salah, pesimis, putus asa terhadap hubungan dengan orang lain, menghindar dari orang lain, tidak mampu merumuskan keinginan, dan merasa tertekan. Keadaan menimbulkan perilaku tidak ingin berkomunikasi dengan orang lain, menghindar dari orang lain, lebih menyukai berdiam diri sendiri, kegiatan sehari-hari hampir terabaikan.
Gejala Klinis :
 Apatis, ekspresi sedih, afek tumpul
 Menghindar dari orang lain (menyendiri)
 Komunikasi kurang/tidak ada. Klien tidak tampak bercakap-cakap dengan klien lain/perawat
 Tidak ada kontak mata, klien sering menunduk
 Berdiam diri di kamar/klien kurang mobilitas
 Menolak berhubungan dengan orang lain, klien memutuskan percakapan atau pergi jika diajak bercakap-cakap
 Tidak melakukan kegiatan sehari-hari.
(Budi Anna Keliat, 1998)

2. Penyebab dari Menarik Diri
Salah satu penyebab dari menarik diri adalah harga diri rendah. Harga diri adalah penilaian individu tentang pencapaian diri dengan menganalisa seberapa jauh perilaku sesuai dengan ideal diri. Dimana gangguan harga diri dapat digambarkan sebagai perasaan negatif terhadap diri sendiri, hilang kepercayaan diri, merasa gagal mencapai keinginan.
Gejala Klinis
• Perasaan malu terhadap diri sendiri akibat penyakit dan tindakan terhadap penyakit (rambut botak karena terapi)
• Rasa bersalah terhadap diri sendiri (mengkritik/menyalahkan diri sendiri)
• Gangguan hubungan sosial (menarik diri)
• Percaya diri kurang (sukar mengambil keputusan)
• Mencederai diri (akibat dari harga diri yang rendah disertai harapan yang suram, mungkin klien akan mengakiri kehidupannya.
( Budi Anna Keliat, 1999)

3. Akibat dari Menarik Diri
Klien dengan perilaku menarik diri dapat berakita adanya terjadinya resiko perubahan sensori persepsi (halusinasi). Halusinasi ini merupakan salah satu orientasi realitas yang maladaptive, dimana halusinasi adalah persepsi klien terhadap lingkungan tanpa stimulus yang nyata, artinya klien menginterprestasikan sesuatu yang nyata tanpa stimulus/ rangsangan eksternal.
Gejala Klinis :
• bicara, senyum dan tertawa sendiri
• menarik diri dan menghindar dari orang lain
• tidak dapat membedakan tidak nyata dan nyata
• tidak dapat memusatkan perhatian
• curiga, bermusuhan, merusak (diri sendiri, orang lain dan lingkungannya), takut
• ekspresi muka tegang, mudah tersinggung
(Budi Anna Keliat, 1999)
III. Pohon Masalah

Resiko Perubahan Sensori-persepsi :
Halusinasi ……..


Isolasi sosial : menarik diri Core Problem


Gangguan Konsep Diri : Harga Diri Rendah
( Budi Anna Keliat, 1999)

IV. Masalah Keperawatan dan Data yang perlu dikaji
a. Masalah Keperawatan
1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi
2. Isolasi Sosial : menarik diri
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
b. Data yang perlu dikaji
1. Resiko perubahan persepsi - sensori : halusinasi
1). Data Subjektif
1. Klien mengatakan mendengar bunyi yang tidak berhubungan dengan stimulus nyata
2. Klien mengatakan melihat gambaran tanpa ada stimulus yang nyata
3. Klien mengatakan mencium bau tanpa stimulus
4. Klien merasa makan sesuatu
5. Klien merasa ada sesuatu pada kulitnya
6. Klien takut pada suara/ bunyi/ gambar yang dilihat dan didengar
7. Klien ingin memukul/ melempar barang-barang
2). Data Objektif
1. Klien berbicara dan tertawa sendiri
2. Klien bersikap seperti mendengar/ melihat sesuatu
3. Klien berhenti bicara ditengah kalimat untuk mendengarkan sesuatu
4. Disorientasi
2. Isolasi Sosial : menarik diri
1). Data Subyektif
Sukar didapat jika klien menolak komunikasi. Terkadang hanya berupa jawaban singkat ya atau tidak.
2). Data Obyektif
Klien terlihat apatis, ekspresi sedih, afek tumpul, menyendiri, berdiam diri di kamar dan banyak diam.
3. Gangguan konsep diri : harga diri rendah
1). Data subyektif:
Klien mengatakan: saya tidak mampu, tidak bisa, tidak tahu apa-apa, bodoh, mengkritik diri sendiri, mengungkapkan perasaan malu terhadap diri sendiri.
2). Data obyektif:
Klien tampak lebih suka sendiri, bingung bila disuruh memilih alternatif tindakan, ingin mencederai diri/ ingin mengakhiri hidup.

V. Diagnosis Keperawatan
1). Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri.
2). Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.

VI. Rencana Tindakan Keperawatan
Diagnosa 1 : Resiko perubahan persepsi sensori: halusinasi …. berhubungan dengan menarik diri.
Tujuan Umum :
Klien dapat berinteraksi dengan orang lain sehingga tidak terjadi halusinasi
Tujuan Khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan landasan utama untuk hubungan selanjutnya
Tindakan:
1.1 Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapeutik dengan cara :
1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. perkenalkan diri dengan sopan
3. tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai
4. jelaskan tujuan pertemuan
5. jujur dan menepati janji
6. tunjukkan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7. berikan perhatian kepada klien dan perhatian kebutuhan dasar klien
2. Klien dapat menyebutkan penyebab menarik diri
Rasional : Memberi kesempatan untuk mengungkapkan perasaannya dapat membantu mengurangi stres dan penyebab perasaaan menarik diri
Tindakan
2.1 Kaji pengetahuan klien tentang perilaku menarik diri dan tanda-tandanya
2.1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan penyebab menarik diri atau mau bergaul
2.1. Diskusikan bersama klien tentang perilaku menarik diri, tanda-tanda serta penyebab yang muncul
2.1. Berikan pujian terhadap kemampuan klien mengungkapkan perasaannya
3. Klien dapat menyebutkan keuntungan berhubungan dengan orang lain dan kerugian tidak berhubungan dengan orang lain.
Rasional :
• Untuk mengetahui keuntungan dari bergaul dengan orang lain.
• Untuk mengetahui akibat yang dirasakan setelah menarik diri.
Tindakan :
1. Kaji pengetahuan klien tentang manfaat dan keuntungan berhubungan dengan orang lain
1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan prang lain
2. Diskusikan bersama klien tentang manfaat berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang keuntungan berhubungan dengan orang lain
2. Kaji pengetahuan klien tentang kerugian bila tidak berhubungan dengan orang lain
1. Beri kesempatan kepada klien untuk mengungkapkan perasaan dengan orang lain
2. Diskusikan bersama klien tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement positif terhadap kemampuan mengungkapkan perasaan tentang kerugian tidak berhubungan dengan orang lain
4. Klien dapat melaksanakan hubungan sosial
Rasional :
• Mengeksplorasi perasaan klien terhadap perilaku menarik diri yang biasa dilakukan.
• Untuk mengetahui perilaku menarik diria dilakukan dan dengan bantuan perawat bisa membedakan perilaku konstruktif dan destruktif.
Tindakan
1. Kaji kemampuan klien membina hubungan dengan orang lain
2. Dorong dan bantu kien untuk berhubungan dengan orang lain melalui tahap :
• K – P
• K – P – P lain
• K – P – P lain – K lain
• K – Kel/ Klp/ Masy
1. Beri reinforcement positif terhadap keberhasilan yang telah dicapai
2. Bantu klien untuk mengevaluasi manfaat berhubungan
3. Diskusikan jadwal harian yang dilakukan bersama klien dalam mengisi waktu
4. Motivasi klien untuk mengikuti kegiatan ruangan
5. Beri reinforcement positif atas kegiatan klien dalam kegiatan ruangan
4. Klien dapat mengungkapkan perasaannya setelah berhubungan dengan orang lain
Rasional : Dapat membantu klien dalam menemukan cara yang dapat menyelesaikan masalah
Tindakan
1. Dorong klien untuk mengungkapkan perasaannya bila berhubungan dengan orang lain
2. Diskusikan dengan klien tentang perasaan manfaat berhubungan dengan orang lain
3. Beri reinforcement positif atas kemampuan klien mengungkapkan perasaan manfaat berhubungan dengan oranglain
6. Klien dapat memberdayakan sistem pendukung atau keluarga
Rasional : memberikan penanganan bantuan terapi melalui pengumpulan data yang lengkap dan akurat kondisi fisik dan non fisik pasien serta keadaan perilaku dan sikap keluarganya
Tindakan
1. Bina hubungan saling percaya dengan keluarga :
• salam, perkenalan diri
• jelaskan tujuan
• buat kontrak
• eksplorasi perasaan klien
1. Diskusikan dengan anggota keluarga tentang :
• perilaku menarik diri
• penyebab perilaku menarik diri
• akibat yang terjadi jika perilaku menarik diri tidak ditanggapi
• cara keluarga menghadapi klien menarik diri
3. Dorong anggota keluarga untukmemberikan dukungan kepada klien untuk berkomunikasi dengan orang lain
4. Anjurkan anggota keluarga secara rutin dan bergantian menjenguk klien minimal satu kali seminggu
5. Beri reinforcement positif positif atas hal-hal yang telah dicapai oleh keluarga
Diagnosa 2 : Isolasi sosial: menarik diri berhubungan dengan harga diri rendah.
Tujuan umum :
Klien dapat berhubungan dengan orang lain secara optimal
Tujuan khusus :
1. Klien dapat membina hubungan saling percaya
Rasional : Hubungan saling percaya merupakan dasar untuk kelancaran hubungan interaksi selanjutnya
Tindakan :
1. Bina hubungan saling percaya dengan menggunakan prinsip komunikasi terapetutik
1. sapa klien dengan ramah baik verbal maupun non verbal
2. Perkenalkan diri dengan sopan
3. Tanyakan nama lengkap klien dan nama panggilan yang disukai klien
4. Jelaskan tujuan pertemuan
5. Jujur dan menepati janji
6. Tunjukan sikap empati dan menerima klien apa adanya
7. Beri perhatian kepada klien dan perhatikan kebutuhan dasar klien.
2. Klien dapat mengidentifikasi kemampuan dan aspek positif yang dimiliki
Rasional :
• Diskusikan tingkat kemampuan klien seperti menilai realitas, kontrol diri atau integritas ego diperlakukan sebagai dasar asuhan keperawatannya.
• Reinforcement positif akan meningkatkan harga diri klien
• Pujian yang realistik tidak menyebabkan klien melakukan kegiatan hanya karena ingin mendapatkan pujian
Tindakan:
2.1. Diskusikan kemampuan dan aspek positif yang dimiliki klien
2.1. Setiap bertemu klien hindarkan dari memberi penilaian negatif
2.1. Utamakan memberikan pujian yang realistik
3. Klien dapat menilai kemampuan yang digunakan
Rasional :
• Keterbukaan dan pengertian tentang kemampuan yang dimiliki adalah prasyarat untuk berubah.
• Pengertian tentang kemampuan yang dimiliki diri memotivasi untuk tetap mempertahankan penggunaannya
Tindakan:
1. Diskusikan dengan klien kemampuan yang masih dapat digunakan selama sakit
2. Diskusikan kemampuan yang dapat dilanjutkan penggunaannya.
4. Klien dapat (menetapkan) merencanakan kegiatan sesuai dengan kemampuan yang dimiliki
Rasional :
• Membentuk individu yang bertanggung jawab terhadap dirinya sendiri
• Klien perlu bertindak secara realistis dalam kehidupannya.
• Contoh peran yang dilihat klien akan memotivasi klien untuk melaksanakan kegiatan
Tindakan:
1. Rencanakan bersama klien aktivitas yang dapat dilakukan setiap hari sesuai kemampuan
• Kegiatan mandiri
• Kegiatan dengan bantuan sebagian
• Kegiatan yang membutuhkan bantuan total
1. Tingkatkan kegiatan sesuai dengan toleransi kondisi klien
2. Beri contoh cara pelaksanaan kegiatan yang boleh klien lakukan
5. Klien dapat melakukan kegiatan sesuai kondisi sakit dan kemampuannya
Rasional :
 Memberikan kesempatan kepada klien mandiri dapat meningkatkan motivasi dan harga diri klien
 Reinforcement positif dapat meningkatkan harga diri klien
 Memberikan kesempatan kepada klien ntk tetap melakukan kegiatan yang bisa dilakukan
Tindakan:
1. Beri kesempatan pada klien untuk mencoba kegiatan yang telah direncanakan
5.2. Beri pujian atas keberhasilan klien
5.3. Diskusikan kemungkinan pelaksanaan di rumah
4. Klien dapat memanfaatkan sistem pendukung yang ada
Rasional:
• Mendorong keluarga untuk mampu merawat klien mandiri di rumah
• Support sistem keluarga akan sangat berpengaruh dalam mempercepat proses penyembuhan klien.
• Meningkatkan peran serta keluarga dalam merawat klien di rumah.
Tindakan:
1. Beri pendidikan kesehatan pada keluarga tentang cara merawat klien dengan harga diri rendah
2. Bantu keluarga memberikan dukungan selama klien dirawat
3. Bantu keluarga menyiapkan lingkungan di rumah
DAFTAR PUSTAKA
1. Azis R, dkk. Pedoman asuhan keperawatan jiwa. Semarang : RSJD Dr. Amino Gondoutomo. 2003
2. Boyd MA, Hihart MA. Psychiatric nursing : contemporary practice. Philadelphia : Lipincott-Raven Publisher. 1998
3. Budi Anna Keliat. Asuhan Klien Gangguan Hubungan Sosial: Menarik Diri. Jakarta : FIK UI. 1999
4. Keliat BA. Proses kesehatan jiwa. Edisi 1. Jakarta : EGC. 1999
5. Stuart GW, Sundeen SJ. Buku saku keperawatan jiwa. Edisi 3. Jakarta : EGC. 1998
6. Tim Direktorat Keswa. Standar asuhan keperawatan kesehatan jiwa. Edisi 1. Bandung : RSJP Bandung. 2000